Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DIA YANG PERGI MEMBAWA LUKA


DIA YANG PERGI MEMBAWA LUKA

Pria itu jeli memperhatikan sekelilingnya sesaat sebelum menuju sebuah konter HP di sudut gang sempit. Sesekali menengok kanan-kiri, berharap tidak bertemu muka dengan seorang pun yang dikenalnya. Perlahan kakinya melangkah memasuki konter penjualan Handphone dan segala aksesorisnya; lalu duduk di kursi plastik yang tersedia di berandanya.
Penjaga konter tanggap dengan kehadirannya lalu menyapa dengan ramah. Namun pria berjenggot tipis itu enggan menatap si pramuniaga yang berbusana minim lengkap dengan dandanan menor.
“hm… beli perdana yang ini mba..” ucapnya pelan
“oh, Iya Mas. Harganya Rp.10.000; ada yang lain?”.alih-alih menjawab, ia hanya menggeleng sembari mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu. 
Buru-buru disimpannya kartu perdana yang katanya raja SMS itu ke dalam ransel hitamnya lalu ia melanjutkan langkah sambil sesekali menoleh ke belakang. Entah apa yang membuatnya gelisah pagi ini. Biasanya, jam 10 ia telah keluar dari kelas lalu bergabung dengan teman-teman di organisasi yang dia ikuti, dan setengah jam kemudian ia telah berada di dalam mushola kampus untuk menunaikan shalat dhuha dan membaca buku atau tilawah sambil menanti waktu shalat dhuhur tiba.
Namun pagi tadi ia murung di kelas, pikirannya menerawang ke berbagai hal yang dilewatinya beberapa hari silam dan menyebabkan kegalauan hatinya mencapai tingkat akut. Lalu begitu dosen keluar dari kelas ia pun membawa langkahnya kembali kos. Tak ada teman organisasi, tak ada mushala sepi pagi ini.
Rumah kosnya sudah terlihat di ujung gang, namun membuatnya urung melangkah karena dua muslimah yang berdiri di depan pintu terlihat menanti seseorang. Spontan ia bersembunyi di rerimbunan pohon dan memperhatikan mereka. Ah, untung tidak terlalu lama karena yang ditunggu segera muncul sambil mengangsurkan sebuah buku lalu keduanya pergi.
Pria berkulit putih itu masih mematung meski keduanya telah hilang dari pandangan. Luka hatinya seakan menganga kembali, perih. Namun bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
***
New message: from 085 729 888 ***
_Assalamu’alaikum, Ukhti.. semoga malam ini engkau senantiasa diberi kemudahan dan kelancaran untuk mengerjakan tugas-tugas dan praktikum yang menggunung. Semangad! Do’aku untukmu selalu, Wassalam ** Mr. Bee**_
Reva hanya mengernyitkan dahi membaca SMS dari nomor tak dikenal itu. Sedikit heran, namun tak menanggapi sedikitpun. Hati dan pikirannya lebih disibukkan oleh rumus-rumus yang harus diselesaikannya segera.
“Ah! Orang iseng. Mr. Bee?? Ih..ngaco!” omelnya sambil melemparkan HP ke tempat tidurnya setelah me non aktifkan.
Sementara di kamar kos sebelahnya, Hilya tengah tersenyum-senyum membaca SMS dari nomor tak dikenal, mengaku bernama Rangga.
New message: from 085 729 123 ***  : _Hai. Aku Rangga. Apakah engkau Cinta?_
Hilya yang mahasiswa baru itu iseng menaggapi.
_Yep! Gwe Cinta. So what?!_
085 729 123 *** : _Cinta, apakah engkau menyimpan bom?_
_Kok tau?_ balas Hilya meniru gombalan yang sedang ngetrend, masih dengan bibir sesekali tersenyum
 085 729 123 ***:_karena cinta membuat hatiku meledak-ledak bahagia_
_ah!! Gombal lu! Biasa aja kali!_ sambung Hilya lebih bersemangat
085 729 123***:_ bagiku, yang biasa itu menjadi RUARR biasa jika bersamamu_
_ahahahaha dasar!_  tapi ternyata Hilya tak bisa membalas SMS terkahir itu karena pulsanya telah habis untuk paket internet. Dengan wajah kesal ia pun melanjutkan kembali membaca novel picisan yang dipinjamnya dari teman sekelas.
***
Pukul 03.00 dini hari. Reva terjaga karena bunyi alarm yang dinyalakannya. Sejurus kemudian bunyi ‘klik’ menaandai SMS masuk.
New message: from 085 729 888 *** _ Rembulan….. dilangit hatiku, menyalah engkau selalu, temani kemana mesti ku pergi mencari tempat kita tuju. Do’akanlah ‘ku di shalat malammu, pelita perjalananku… **Mr.Bee**_
Lagi-lagi ia hanya mengernyitkan dahi dan dengan cuek kembali mematikan HP lalu bergegas bangun untuk mengambil air wudhu dan menunaikan shalat malam.
Sambil berjalan mengambil air wudhu, Reva menyempatkan diri membangunkan adik-adik kosnya untuk shalat malam. Pintu kamar Hilya yang pertama kali ia ketuk.
“De.. De Hilya, bangun De, shalat yuk!”
“Iya Kak! Hilya dah bangun dari tadi!” jawabnya ketus. Memang, Hilya telah terbangun sejak 15 menit yang lalu demi sebuah SMS yang datang dari si pengirim misterius mengaku bernama Rangga.
Rangga: _Cinta… bangunlah, ayo shalat malam bersamaku_
Hilya hanya membaca SMS itu tanpa bisa membalasnya. Hhfff… gerutunya pelan lalu keluar mencari teman kos yang lain yang berjualan pulsa. 5 menit kemudian ia telah asyik kembali saling berbalas SMS dengan Rangga.
_memangnya tau apa kau tentang shalat malam?_
Rangga: _Sangat tahu. Dulu aku sering melakukannya_
_sekarang?_
Rangga: _masih ingin.. asal bersamamu, cinta_
_ogah! Shalat aja sendiri!_
Rangga: _tepi bersamamu lebih indah_ dan terus..terus.. berbalas hingga Hilya tak mendengar kumandang adzan subuh dari masjid terdekat.
“Dik Hilya, Ayo dik, jama’ah shalat subuh..” ajak Reva.
“ya kak.. sebentar…”
Setelah shalat subuh, Hilya mengurung diri di dalam kamar, bolos dari agenda rutin ba’da subuh meski teman-teman dan kakak kos yang lain telah mengingatkannya.
***
Pagi beranjak menepi, aktivitas di kompleks kos mahasiswa selalu berputar seperti sebuah roll film yang ditayangkan berulang-ulang. sebagian menunaikan shalat subuh, sebagian lagi masih asyik di dunia mimpi. Sebagian mulai antri di depan kamar mandi, sebagian lagi bermuka kusut karena PR semalam tak mampu terselesaikan. Di kompleks sebelah tak kalah ramai oleh jerit kalut masakan gosong, atau bahkan teriakan-teriakan karena kehabisan air di kamar mandi. Di sudut yang lain khusyu’ para hamba mengawali hari dengan dzikir.
Tapi roll film yang biasanya berputar sama itu hari ini harus berputar menuju takdirNya yang lain. Seorang hamba yang biasanya telah bersemangat menuju kampus sambil berjalan kaki dengan riang; kali ini masih menggayutkan kepalanya di atas kasur. Wajahnya kusut masai seolah telah kehilangan ruh dan harapan masa depan.
Dunianya telah berputar sekarang. Rodanya tengah berada pada medan gelap yang dahulu tak pernah terbayangkan untuk sampai di sana; lingkaran hitam yang bermuara pada satu titik bernama kesedihan. Pun seperti lagu-lagu dan roman picisan, patah hati membuatnya kehilangan kendali bahkan atas dirinya sendiri. Yang diinginnya kini adalah menunjukkan taring, mengabarkan kepada dunia bahwa dia tidak seharusnya mendapat perlakuan seperti itu. Keinginan untuk membalas luka hatinya telah seiring dengan helaan nafasnya; menyatu.
Tanpa meninggalkan tempat tidurnya, ia meraih android dan sebuah HP butut. Dibukanya inbox SMS dan membalas SMS-SMS yang masuk. Sesekali ia tersenyum sinis penuh pongah. Namun beberapa SMS yang tak terbalas dari sebuah nama membuatnya bertambah kesal.
“ARRRRGGHHH!!! Karena dia lah aku melakukan semua ini! Kenapa dia tak juga menanggapi??!!!” teriaknya seraya membanting HPnya, lalu menggelosor di samping dipan. Membiarkan rambutnya yang kusut masai dipermainkan angin. Membiarkan hatinya yang seakan mati.
***
New message: from 085 729 888 *** : _Bidadari syurgaku, apa kabarmu disitu? Aku menantikanmu dalam diamku dan berharap memilikimu, bersanding denangmu hingga bertemu engkau kembali di SyurgaNya_
“Hilya, tahu no ini ga? Tolong dicek ya?”
“Mana Kak Reva? Diisengin orang ya?”
Reva hanya membalas dengan senyum. Sejurus kemudian Hilya menggelengkan kepala tanda ia pun tak mengenal pemilik nomor HP yang dibacakan Reva.
Reva tak ingin memikirkan SMS-SMS yang berjejalan masuk ke HPnya. Herannya, tidak ada yang mengenal nomor asing itu, tapi dia mengenal setiap aktivitas Reva. Sangat mengenal bahkan, seolah teman yang sangat dekat. Namun sebuah nama yang tiba-tiba terlintas di kepalanya membuatnya menaruh curuga kepada seseorang. Kejadian sebulan yang lalu kembali berpusar di kepalanya.
“Maaf, Akhi… saya tidak bisa menerima”. Jawab Reva mantap. Saat itu mereka sedang berada di mushola kampus, Reva hanya ditemani oleh Hasna, sahabatnya.
“Kenapa ukh?” suara yang muncul dari seberang hijab itu menyiratkan kekecewaan
“Saya belum siap akhi, afwan. Semoga tidak menjadikan ikatan ukhuwah diantara kita menjadi rusak. Mohon maaf, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum..”. Reva bergegas meninggalkan mushola. Tak terdengar balasan salam dari sana. Hanya terlihat seseorang yang melangkah gontai, meninggalkan luka dan dendam bersarang di hati.
“Allah… jika memang hal itu yang membuatku mendapatkan terror SMS demi SMS itu… semoga Engkau memberikan jalan terbaik kepada kami… jika penyebabnya adalah karena penolakanku padanya, semoga Engkau memercikkan keikhlasan dalam hatinya. Sungguh, aku menolak waktu itu karena belum siap mendapatkan amanah lebih dariMU. Yaa Rabb… maafkan aku jika aku mendahului kuasaMu terhadapku… hamba hanya memohon yang terbaik dariMu….” Rintih Reva dalam do’a dan tangis di sepertiga malam.
***
“Kak… heran deh! sekarang kak Desta jadi jarang terlihat di masjid ya? Di kampus juga ngga keliatan, dulu kan aktif banget,,, ” tiba-tiba Hilya menyebut nama yang beberapa hari ini menghantui Reva. Mereka tengah berjalan pulang dari kampus usai rapat organisasi.
“Kakak juga kurang tahu dik, HPnya tidak aktif. Teman-teman ikhwan sudah berusaha menghubunginya juga”.
“Oia kak.. Hilya juga mau minta maaf… waktu itu Hilya banyak SMS nggak bermanfaat sama orang yang ngga dikenal. Dia banyak menggombal dan Hilya nanggepin. Sampe Hilya jadi takut sendiri… takut kalau yang SMS itu ternyata psikopat ayo apa.. trus, jadi boros pulsa juga.. maaf ya kak..”
“Hm.. Alhamdulillah kalo Hilya sudah mendapatkan pelajaran dari hal itu. Tapi nggak usah minta maaf sama Kak Reva.. “
“Baiklah kak.. jangan pernah bosan mengingatkan Hilya ya Kak..”
“Siap, bos!” jawab Reva sambil menahan gelak tawa.  
Di depan kos, tergeletak sebuah amplop kecil warna biru dengan tulisan _Reva_ di atasnya.
Dengan kening berkerut Reva membukanya dan sesaat tertegun, tak mampu berkata-kata. Hanya menyelipkan do’a semoga Allah selalu menjaganya..

_Maafkan atas segala yang kulakukan. Pun atas SMS-SMS yang mungkin melukaimu. Mulai saat ini, aku tak ingin lagi menemuimu apalagi menganggumu. Selamat tinggal. Desta Rangga Aditya **Mr. Bee**_ 


_Wonosobo, September 2012_

Posting Komentar untuk "DIA YANG PERGI MEMBAWA LUKA"