Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ASI Adalah Perjuangan

ilustrasi, credit pixabay

Assalamu’alaikum,
Lama sekali membiarkan blog ini menggalau dan sepi. Eh?!
Semoga Ayah-Bunda ada yang kangen dan langsung membaca postingan ini *apasih*
Maaf ya, abaikan saja yang sedang nggak jelas ini, beberapa hari kemarin mau meramaikan world breastfeeding week atau Pekan Asi Dunia pun akhirnya menyerah dan tidak bisa posting di hari terakhir.
Well, meskipun begitu, saya masih berusaha mengumpulkan semangat untuk menuliskan pengalaman pertama saya memberikan ASI ke #anugerahdarisurga.
Terpaksa Sectio
Ah, mangingat kisah 2,5 tahun yang lalu, luka bekas Sectio itu tiba-tiba ngilu.
10 hari menjelang HPL, kami sekeluarga pergi ke Kabupaten Semarang untuk mengunjungi saudara sekaligus jalan-jalan karena ada keperluan lain. Ingat sekali waktu itu kami menikmati makan siang yang cukup terlambat di warung depan pasar Sumowono, memesan nasi pecel dan lauk mangut belut yang pedas. Hm... nasi yang panas mengepul dipadu dengan mangut belut bersantan dan pedas, jika tidak sedang hamil tentu saya lahap banyak-banyak.

Esok paginya, ternyata perut mulas dan pup seperti diare. Tidak parah, hanya beberapa kali dan lembek, tidak seperti biasanya. Namun semakin malam semakin terasa sakit perutnya. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan ini tanda-tanda mau melahirkan? Tapi tidak ada cairan ataupun lendir berdarah seperti yang dialami teman-temanku menjelang lahiran. maka saya pun hanya ‘menikmati’ sakit itu dan berpikir itu hanya efek dari makan makanan pedas sehari sebelumnya.
Rupanya, sampai esoknya lagi belum sembuh mulas di perut itu malah makin menjadi. Seperti saran teman-teman, aku pun berjalan keliling rumah, bersujud, dan banyak hal kulakukan demi mengurangi sakitnya, termasuk tiduran di kasur.
Ba’da dhuhur, perut terasa makin kecang dan aku panik, karena itu seperti kontraksi yang diceritakan teman-teman, jaraknya sekitar satu jam sekali. Uuugh! Sampai mau makan siang pun tak berselera. Suami memaksaku untuk makan siang dan dengan ogah-ogahan saya bangun dari kasur tapi tiba-tiba ‘pyok!’ seperti keluarnya darah haidh yang deras begitu bangun dari duduk. Kami berpandangan dan sama-sama panik ‘jangan-jangan ketuban pecah!’ itu yang ada di kepala kami berdua.
Benarlah, karena saat dicium rasanya anyir, tidak pesing seperti air seni. Buru-buru saya dilarikan ke bidan tempat saya periksa. Sampai di sana diperiksa oleh bidan jaga dan beliau memastikan itu adalah air ketuban. Saya pun dirujuk ke Rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Bersalin Kusuma, yang kami pilih dengan pertimbangan jaraknya cukup dekat dari rumah dan beberapa teman juga melahirkan di sana.
Setelah masuk IGD dan diperiksa lagi, rupanya sudah masuk bukaan 3. Artinya, perkembangan cukup bagus dan jika lancar saya bisa melahirkan normal beberapa jam lagi. Bismillah, mari bantu Bunda berjuang, Sayang... bisikku pada bayi di perut.
Menjelang maghrib, bidan jaga memeriksa lagi dan hasilnya sudah bukaan 5. Alhamdulillah... insyaAllah lancar. Do’a - do’a terus kulantunkan disela kontraksi yang makin terasa dan makin sering. Suami yang menunggui tak henti menyemangati dan mendoakan meski sesekali mencandai.

Pukul 7 malam, kembali bidan jaga memeriksa, namun belum nambah bukaan juga ternyata.

ilustrasi, credit pixabay
“Bu, seperti yang saya katakan tadi, karena belum nambah juga bukaannya, jadi diinduksi ya..” saya hanya mengangguk lesu mengiyakan beliau yang sejurus kemudian memasukkan obat induksi ke dalam cairan infus. Beberapa tetes per sekian detik, ah saya lupa tepatnya.
“Jangan lupa, kalau sudah terasa mau mengejan, teriak panggil saya, ya Bu..” pesannya sebelum keluar dari ruang bersalin.
Uuugh! Ternyata benar! Diinduksi itu rasanya lebih sakit dari kontraksi alami. Dan saya pun harus menerimanya, sambil meringis kesakitan dan istighfar tak henti. Jantung makin berdetak kencang membayangkan jika harus operasi bagaimana? Biaya dari mana? Dan segala keresahan muncul di hati.
Berkali-kali bidan menanyakan apakah sudah ingin mengejan, bahkan beliau masuk ruangan karena tidak mendengar saya teriak.
“Sayang tenaga saya, Bu.. biarlah saya tahan-tahan sakitnya supaya saya masih kuat mengejan..” jawabku.
Satu jam, tak ada perubahan sampai akhirnya beliau memutuskan untuk menambah dosis induksinya.
Pukul 9 malam, dokter obsgyn visit dan lagi-lagi daat diperiksa, bukaan masih tetap 5. Beliau berpesan jika sampai nanti pukul 11 malam belum ada perubahan, harus dilakukan operasi. Dan, menanti detik demi detik sambil menahan rasanya kontraksi itu sesuatu yang sangat... ah sulit saya melukiskan.
“Silakan tanda tangan di sini, Pak...” kata bidan sambil membawa dokumen persetujuan untuk operasi.
Saya hanya tersenyum kecut memandangi suami yang tak kalah bimbang dan khawatir.
“Bismillah, Bund.. semangat, ya! Terus berdo’a!”

Saya hanya bisa pasrah, masih dengan meringi-ringis menahan kontraksi yang terus ada tapi tanpa ada pergerakan janin yang turun ke jalan lahir. Saat perawat memintaku untuk mengganti pakaian dengan pakaian operasi, saya menangis lagi. Ah, cengeng ya?! Sudah sejak tadi saya menangis, sejak keputusan harus operasi itu diambil.
Tapi apa bisa dikata? Bukankah begitu prosedurnya?
Saat masuk ruang operasi yang dingin dengan banyak lampu dan peralatan, rasanya makin jeri dan ingin lari saja. Tapi pasrah.. hanya itu yang bisa kulakukan. Terlebih energi sudah terkuras habis meski sejak awal sudah menahan diri untuk tidak berteriak kencang.
“Saya masukkan anestesi lewat punggung, ya Bu..” kata dokter anestesinya, dan saya bersiap membungkuk sambil menahan sakitnya dengan memeluk batal. Setelah itu, kurasakan bius mulai bekerja dan saya setengah sadar, mendengar apa yang mereka bicarakan dan merasakan tangan-tangan itu bekerja di atas perut, tapi tak bisa berkomentar apa-apa. ‘
Rasa lega membuncah saat kudengar tangis itu pertama kali. Tangis yang sayup-sayup melewati dunia kristal yang sedang kulewati. Ah, kalau pernah menonton film Superman, kurang lebih begitulah dunia yang ‘kumasuki’ saat aku setengah sadar melewati masa operasi.
“Bayinya perempuan, besar nih! Wah, 3,3 kg!”
“Jam berapa ini? Masih masuk tanggal 25 Februari ya? Masih ada waktu hampir setengah jam sampai pukul 12”
Begitulah keriuhan di ruang operasi yang kudengar samar-samar. Hamdallah terus terlantun dari bibir, semoga semuanya baik-baik saja...
“Selamat ya Mba, bayinya perempuan. Cantik sekali. Alhamdulillah selamat.  Air ketuban sudah kering nggak ada setetes pun,” kata salah satu perawat yang rupanya rekan kerja ibu mertua dulu. Alhamdulillah ya Rabb... barangkali tindakan SC ini adalah jalan terbaik.

Gagal IMD (Inisiasi Menyusu Dini)

ilustrasi, pixabay

Selama hamil, saya rajin mengumpulkan berbagai informasi mengenai kehamilan, menyusui, dan bayi. Salah satunya tentang IMD, yang terkadang diabaikan oleh sebagian bidan/dokter. Jadi, jika mereka tidak memberikan bayi untuk IMD pasien bisa memprotesnya.
Kondisinya waktu itu tengah malam, suami dan ibu mertua yang telah menunggu saya sejak siang hari sudah terkuras habis energinya. Saya pun hanya bisa pasrah tergeletak di atas ranjang rumah sakit, menikmati setengah badan bawah yang mati rasa. Dalam hati teramat risau karena belum melihat anakku sama sekali. Bagaimana jika dia ditukar seperti cerita-cerita di sinetron itu? bagaimana jika ini? Jika begitu? Tapi kutepis semuanya dengan memohon perlindungan dari Allah.
Esoknya, menjelang subuh suami dan ibu mertua izin pulang untuk membersihkan badan dan mengurus beberapa keperluan.
Pagi hari setelah badan saya dibersihkan oleh perawat jaga, seorang bidan datang mengantarkan bayi perempuan cantik itu.


Hasna umur 5 hari. foto yang baru lahir nggak ketemu.. :(
foto dok. pribadi

“Silakan, Ibu.. ini bayinya, cantik sekali. Rambutnya hitam lebat. Silakan mulai disusui ya Bu..” kata beliau yang sejurus kemudian menjelaskan dan mengajari posisi menyusui yang nyaman mengingat saya baru selesai operasi.
Saya pun terperangah, rupanya bayi lucu menggemaskan itu kulitnya putih bersih, tapi hidungnya sukses mewarisi hidung bundanya. Meski saya pun tak tahu benar apakah ini anak saya, tapi seperti ada ikatan batin yang membuatnya terdiam begitu menempel di dadaku.
Kucoba menyusui, tapi dia masih belum menemukannya, dan saya pun kesulitan mendapatkan posisi yang nyaman. Bayi meronta-ronta, sementara bekas operasi mulai terasa sangat nyeri terlebih saat menggerakkan badan.
Sekitar pukul 9 pagi, dokter anak visit dan menanyakan kondisi. Beliau berpesan jangan buru-buru untuk memberikan selain ASI. Cobalah untuk terus memberikan meskipun belum keluar, karena itu akan merangsang keluarnya ASI.
“Semangat ya, Bu. Dedeknya bisa bertahan 3x24 jam tanpa meminum apapun. Ibu rileks saja, insya Allah nanti keluar,”
Tak tega rasanya melihatnya menangis dan menjerit kehausan, atau entah apa yang dia mau, kita orang dewasa kadang tak memahaminya bukan?
“Adiknya olah raga terus, biar jantungnya kuat, ya Dek?” begitu komentar pasien di bed sebelah yang juga pasca SC sehari sebelumnya.
Alhamdulillah, sekamar dengan pasien dan keluarganya yang baik hati, yang tak mempermasalahkan bayi kami yang saat menangis jeritannya terdengar seantero rumah sakit.

ASI Saya Belum Keluar

ilustrasi, pixabay
Sampai siang harinya, ASI tetap belum keluar. Rasanya keras dan sakit, terlebih saat lidah si mungil itu mencoba menyusu. Uuuh! Lidahnya tajam sekali menggores kulit.
Saat bidan jaga datang lagi, beliau pun membantu mengurut payudara. Jangan tanya rasanya, ya. Terlebih ditambah nyeri di perut.
Malam hari saat ASI belum keluar juga, kami mulai panik tapi tetap positive thinking. Bergantian dengan ayahnya menenangkan saat dia menangis dan rewel. Ganti popok, menggendong, meninabobokan, semuanya dilakukan oleh ayahnya, saya hanya bisa memandang sedih dari atas ranjang.
Sampai pagi harinya, saat bidan laktasi visit lagi, ASI saya belum juga keluar. Lagi-lagi beliau mengurut dan rasanya lebih sakit dari sebelumnya.
Harus tetap semangat dan berdo’a, bersabar juga, tekadku.
Saat akhirnya ASI itu keluar hanya setetes demi setetes, bahagia dan syukur membuncah. Memandangi si kecil yang tenang menyusu adalah kebahagiaan tersendiri. Alhamdulillah, esok harinya meski si kecil kuat sekali menyusu, namun ASI terus berproduksi seperti tak ada habisnya.
Melihat ada warna putih susu yang keluar dari sela bibirnya itu sungguh membahagiakan. Meski menyusu sembari rebahan dan saat berganti posisi pun harus dengan bantuan suami.

Perjuangan Itu Baru Bermula

ilustrasi, google

Tiga hari di rumah sakit seperti tiga tahun rasanya. Bayangkan saja, saya yang sejak dulu tidak pernah opname tiba-tiba harus 'piknik' di rumah sakit karena operasi caesar. Dulu untuk periksa ke rumah sakit saja saya takut, dan memilih untuk periksa ke puskesmas atau dokter praktik, supaya mendapat perawatan jalan, tak perlu rawat inap di rumah sakit yang menyeramkan itu.
Pulang ke rumah, hal yang kutakutkan adalah seandainya ibu mertuaku melarangku makan ini-itu. dan berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Ternyata, besok paginya begitu bangun pagi sudah tersedia segelas teh manis hangat dan sate lontong ditambah seporsi sayur pecel. masyaAllah.. betapa baik dan perhatiannya beliau, semoga Allah membalasnya. Malu sekali, karena sebelumnya su’udzan beliau akan banyak memberikan larangan.
Tapi, memberikan ASI kepada si kecil rasanya makin berat. Tamu-tamu berdatangan, tidur berkurang, nyeri yang masih saja bertahan, juga si kecil yang belum terbiasa dengan cuaca panas setelah tiga hari berada di ruangan be-AC.
Uuh..! hari ke tiga di rumah, tiba-tiba punggung rasanya seperti ditekan dan kepala tak bisa digerakkan. Jika kupaksakan menyusui sambil duduk dan bayi beralas bantal, setelah leher menunduk sulit dan sakit sekali digerakkan lagi.
Saat itulah saya merasa menjadi ibu yang tidak berguna. Saat menyusui, saat melihat suami mencuci popok dan pontang-panting membantuku menjaga sikecil, air mata tak bisa dibendung. Baby blues syndrome! Bisa jadi saya terkena post-partum depression itu.
Memang tak sampai ada pikiran untuk (maaf) mencekiknya atau menusuknya dengan pisau dapur, tapi saya pernah membentaknya dan tidak mau menyusuinya ketika sampai jam 2 dini hari dia hanya mau berhenti menangis saat digendong dan jika diletakkan sebentar saja jeritannya memekakkan telinga.
Well, ayah bundanya sudah mengatur pembagian ‘tugas jaga’ tapi jika yang dicari adalah ASI dan dia sedikitpun tidak mau minum ASIP meski bunda-nya sudah ngumpet.  Saya ingin berteriak “Aku menyerah!” tapi hanya mampu mengucapkannya lewat tangisan yang diartikan bahwa saya capek oleh suami.
Iya, saya capek. Sangat capek. Siapa ibu baru yang tidak merasa capek? Rutinitas yang berubah, emosi yang naik-turun, jam tidur berkurang, kewajiban bertambah, dan segala macam endebre-bre-bre yang harus dilakukan oleh mereka.
Bersyukur sekali kami masih tinggal di rumah mertua sehingga ada beliau yang membantu ini-itu. Bayangkan saja, seminggu pertama di rumah selama jahitan di perut belum dibuka, untuk mandi dan berpakaian pun saya harus dibantu oleh suami atau adik. Jangan tanya bagaimana hebohnya saat menyusui. Beruntung saat di rumah sakit, bidan dan dokter menyarankan untuk menyusui sambil berbaring, dan alhamdulillah selama ini tidak masalah meskipun resiko menyusui bayi sambil berbaring lebih besar dibandingkan sambil duduk/berdiri.
Ah, jika capek itu dialami oleh semua orang, bagaimana saya harus menyerah?
Saya pun teringat dengan beberapa teman yang punya pengalaman sendiri-sendiri seputar ASI. Ada salah satu yang bekerja fullday tapi sukses menyusui bayinya sampai 2 tahun dan rajin pumping dimanapun, bahkan saat mendapat tugas kerja di luar kota atau luar pulau sekalipun.
Ada juga yang di rumah tapi ASI-nya melimpah dan bisa mendodorkan sebagian untuk bayi lain yang membutuhkan. Ada lagi yang sudah berusaha mengkonsumsi berbagai macam ASI booster tapi tidak mempan, ada yang karena sesaatu dan lain hal ASI-nya terhenti dan tidak mau keluar meskipun sudah berusaha relaktasi.
Jika sudah begini, tak ada alasan untuk terus berjuang dan bersyukur bahwa meskipun hanya di rumah dan tidak bisa pumping, ASI saya selalu cukup untuk si kecil.

Diet ASI Karena Bayi Kegemukan?


bukan untuk memamerkan kegemukan anak,
tapi inilah alasan kenapa kenalan saya menyuruh untuk diet ASI
foto dok. pribadi


"Mba, bayinya besar sekali.. Diet saja. Kasihan lho, kalau sampai obesitas," kata seseorang yang notabene seorang perawat kesehatan senior.
Meski hati tak terima, saya mencoba menjawab dengan sopan.
"Bayi saya masih ASI eksklusif, ko Bu.. belum ada 6 bulan. Diet apa ya Bu?"
"Ya diet ASI-nya, kalau bayi-nya minta nggak usah dikasih terus.."
Saya pun tidak menjawab lebih lanjut karena takut pengetahuan saya yang masih kurang. Setelah itu, saya mencari informasi dan menanyakan ke grup seputar ASI yang ada di facebook. Kata salah satu pakar, berikan ASI sesuai permintaan bayi, tak ada istilah bayi ASIX yang obesitas.
"Jangan hiraukan suara-suara sumbang di luar sana, karena bisa saja ada perbedaan pendapat, namun berikan yang terbaik untuk anak Bunda," kurang lebih begitu semangat yang ditularkan oleh sesama member di sana.
Alhamdulillah.. saya tidak mengikuti saran kenalan saya untuk diet ASI buat Hasna. Meski pipinya mbem dan tubuhnya gempal, semuanya sehat dan sesuai dengan tumbuh kembangnya. Terbukti setelah MPASI dan umur di atas satu tahun, pertambahan berat badannya tidak secepat bulan-bulan awal.
Saya makin yakin bahwa ASI adalah anugerah Tuhan dan makanan terbaik untuk bayi. 
Terus Berjuang untuk Tunaikan Kewajiban

ilustrasi, google


“Para ibu hendaklah menyusukan anak -anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yangingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanyaingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh oranglain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
 yang kamu kerjakan.”  (Al-Baqarah: 233)

Inilah yang menjadi alasanku untuk tidak berhenti menyusui, bahkan saat giginya mulai tumbuh dan gigitannya terasa sangat luar biasa. Atau saat kondisi tidak fit dan tak ingin diganggu oleh apapun. Memang Allah memberikan keringanan bagi para ibu yang tidak bisa menyusui. Namun, saya yakin jika berusaha, selalu ada jalan.
Menyusui itu bukan hanya kewajiban ibu, tapi juga ayah-nya. Bagaimana ia berperan adalah dengan men-support sepenuhnya sang istri yang tengah berjuang. Mendampinginya, menyalurkan bahagia, dan membersamainya sepenuh cinta agar ASI-nya mengalir lancar.
Semangat Nge-ASI, para Ibu! Berikan yang terbaik untuk anak-anak kita. 

Baca juga: (Bukan) Ibu Sebenarnya 

Salam, 







Tulisan ini diikutkan dalam Give Away ASI dan Segala Cerita Tentangnya oleh www.duniabiza.com 


25 komentar untuk "ASI Adalah Perjuangan"

  1. That's why surga ada di bawah telapak kaki Bunda yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, perjuangan dari awal hamil dampai malahirkan dan membesarkan anak itu tak ada habisnya :)
      sebanding dengan pahalanya, asal bisa bersabar.. hiks. saya baru anak satu aja sering 'sumbu kompor' nya terlalu pendek ;(

      Hapus
  2. Ih sama ya. Aku juga caesar dan IMD gagal, mba. Tapi usaha untuk memberikan ASI selalu kita lakukan ya mba :) Salut :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ummi Alida putranya berapa ya sekarang?
      betul, alhamdulillah bisa lulus ASI 2tahun meskipun puting sebelah mendelep

      Hapus
  3. Saya juga punya beberapa teman yang mengalami baby blues syndrome. Bahkan lebih parah dari yang Mbak alami. Yang penting, ada dukungan dari keluarga, pelan-pelan syndrome itu akan hilang sendiri, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali, dukungan dari keluarga itu penting. semoga kita nggak termasuk orang yang suka menjudge begini begitu sama ibu yang baru melahirkan ya Mba..
      temenku pernah cerita, ada anak didiknya di paud yang ditinggal pergi ibunya karena babyblues, dan sampai sekarang nggak mau ketemu anaknya. sediiih

      Hapus
  4. Been there Mba. Terpaksa cesar saat sudah merasakan mulas kontraksi itu sesuatu ya. Sakit dua kali kata orang2 :). Tapi mudah2an pahalanya juga makin besar. AMIN.

    Sukses ngASI nya Mba. Semangat!! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sakit dua kali bener banget :D

      Yah, apapun kata orang insyaAllah yang terbaik ya Mba, mau normal atau SC semua sudah ada ketentuannya

      Hapus
  5. aku bacanya sambil ngilu, membayangkan persalinan diinduksi, tapi hilang ya rasa sakit setelah melihat bayi mungil.
    Huh, bener bgt perjuangan ibu ga ada abisnya..
    alhamdllh asinya keluar ya mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah... bersyukur banget, Mba.. tiap menyusui aku sambil ngajak ngobrol si kecil dan berdo'a semoga Asi-nya cukup sampai nanti dua tahun..

      Hapus
  6. Semangat mba...
    Gagal tdk berarti stop menyusui.
    Akupun caesar 3 kalim anak pertama blom sukses ASIX tp anak ke 2 n ke 3...dg penuh pwejuangan akhirnya bs melewatinya...legaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. MasyaAllah... SC tiga kali.. dan bisa ASIX padahal bekerja. prestasi yang luas biasa, Mba Ophi!

      saya sedikit trauma dengan SC lho Mba, sampai sekarang masih ragu mau promil

      Hapus
  7. pengalaman yang tak terlupakan menjadi seorang ibu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba Tuty, jadi sedih, dulu sering bikin Mamakku nangis :(

      Hapus
  8. Meski badan dan payudara bersakit-sakit, tapi kalo sudah liat anak-anak rasanya ilang sakitnya. Alhamdulillah kita diberi kenikmatan itu ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, lihat keceriaan mereka adalah kebahagiaan tak terhingga seorang ibu :)

      Hapus
  9. masih kebayang aja pas pertama menyusui sampai berdarah-darah, hicks...

    BalasHapus
  10. semangat Mba. Kita para ibu akan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat anak kita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah Mba.. selalu berusaha yang terbaik buat mereka :)

      Hapus
  11. Duh semua bacaan teralihkan dgn foto cubby nya dik Hasna. Subhanallah :)

    BalasHapus
  12. Semangat ASI mbak...salut atas perjuangan ASInya

    BalasHapus
  13. wuaa bisa ya mba sampai diminta diet. kirain cuma buat kita2 para emaknya aja.. hihii, ada2 aja ya idenya..

    semangat mba.. cerita2 ini kelak akan jadi kisah tak terlupa ketika anak2 kita sudah besar... :-)

    BalasHapus
  14. Duh, baca ini pas mau lahiran huhuhu wish me luck! Thanks for sharing mbak

    salam,
    kesya

    BalasHapus